Kamis, 02 Juni 2016

my Spirit part3



PEMUDA di warna warni Thalabul Ilmi

Sebuah buku catatan ringan untuk kamu… wahai pemuda. Manis nya thalabul ‘ilmi yang kurasa “terlalu mudah jika hanya untuk memulai thalabul ‘ilmi. Namun betapa sulitnya jika memutuskan ingin keluar dari lingkaran thalabul ‘ilmi”.
Ku memulai untuk belajar bersama teman-teman sejak usia 6 tahun saat itu, diawali dengan semangat baru, memakai pakaian baru, alat  tulis baru dan yang tak kalah penting adalah guru yang menyenangkan. Perasaan senang diawal sebagai kunci untuk belajar yang menyenangkan, layaknya dunia anak, meski masih banyak mainnya tapi tidak lupa disisipi belajar begitulah guru untuk anak-anak seharusnya.
Teringat dahulu belum bisa ngapangapain baca tulis ga bisa, namun berkat tekad semangat yang kuat untuk terus belajar sehingga saya bisa mengejar ketertinggalan. Almarhum babeh yang udah ngajarin baca tulis sampe ngitung perkalian yang tak kenal letih membimbing. Adapun mama ku saat itu posisinya sebagai supporter.
Setelah menikmati bangku pendidikan selama 16 tahun, kini ku dapat mempertanyakan pada diriku ini tentang keberkahan sebuah ilmu, alangkah tidak berkahnya jika mendapat ilmu tidak dapat ditularkan atau diajarkan kepada yang lainnya. Sehingga sungguh mulia lah menjadi seorang guru mendapat ilmu dan bisa mengajarkannya kembali. Satu hal yang tak boleh pernah putus yakni belajar ilmu agama. masihkah ada semangat menuntut ilmu di jiwamu? Menuntut ilmu agama pastinya.
Engkau begitu cerdas. Daripada mengahafal rumus matematika, kimia, fisika, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal ayat-ayat suci AlQur’an? Dan alangkah lebih baiknya sebelum terlambat. Engkau sungguh pintar, daripada menghafal nama-nama latin tumbuhan lengkap dengan ordo familinya, apakah tidak sebaiknya engkau mengahafal hadits lengkap dengan sanadnya? Hadits pun saya baru baru mengenalnya. Engkau benar-benar pandai daripada menghafal kosakata Bahasa Inggris dan rumu-rumus tenses, apakah tidak sebaiknya engkau mengahafal Bahasa Arab lengkap dengan tata Bahasa Arab sehingga engkau ahli nahwu saraf? Semua pertanyaan itu menjadi cambuk bagi diriku sendiri.
Aku berusaha menjadi baik bukan berarti aku luput dari dosa. 12 tahun mengenyam pendidikan sekuler bagaimana tidak? Pendidikan yang justru nilai agama yang sedikit sekali malah lebih di doktrin pada teori-teori barat dan itu pada akhirnya tidak dipakai dalam kehidupan nyata sehari-hari kita. Sedih rasanya jika kita masih belum tersadar, bahwa diri kita saat ini apakah lebih memilih tetap menutup telinga tentang agama, padahal dalam KTP mengaku Islam. Jelas-jelas Islam tidak memisahkan dengan aspek kehidupan justru kehidupan seorang muslim diliputi dengan aturan Islam mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Semoga hal ini tidak terjadi pada diriku dan dirimu, yakni; “cahaya ilmu di wajahmu telah tertukar dengan gelapnya dosa, sujud dan ruku telah berubah menjadi langkah-langkah cela, do’a dan dzikir telah berganti dengan nada dan lagu. Naudzu billahi min dzalik.”
Tentang indah dan  manisnya thalabul ‘ilmi, dalam hitungan pendek dari kehidupan yang telah dilalui tidak ada kenangan seindah hari-hari thalabul ilmi, meski tiap pagi harus mandi, sarapan pagi, berangkat pagi. Adapun kamu yang susah bangun terpaksa harus dibangunkan dengan sedikit percikan air sehingga terperanjat dari tempat tidur. Itu semua hanya untuk menegakan tholabul ilmi. Bagiku sungguh menyenangkan dan membahagiakan, serasa benar-benar sedang berada di taman surga. Terlebih ketika kita tidak dihadapkan persoalan biaya. Rasanya tidak mau beralih dunia saya tetap ingin di jalan tholabul ilmi ini. Namun apa yang saya hadapi jauh dari yang saya harapkan.
Pendidikan tidak terlepas dari biaya. Tapi Alhamdulillah Allah mudahkan segala urusannya, selalu ada jalan untukku bagiku yang selalu berusaha. Segala apapun yang saya upayakan demi bisa tetap bertholabul ilmi, berbeda dengan dunia setelah itu. Masalah bukan berhenti, tetapi malah bertubi-tubi. Tapi itulah indahnya kehidupan. Qanaah dan bersabar, sholat dan sabar sebagai pegangan kuncinya selalu saya pegang erat-erat. Meski pada akhirnya bukan otomatis masalah itu hilang, tetapi setidaknya kita menyadari bahwa jangan sampai kita tertipu pada permasalahan dunia saat ini. Bukankah ada kehidupan yang lebih kekal setelah ini? Biarlah., yang penting selalu ada Allah dalam hati kita.
Aku orangnya memang jarang curhat karena sebelumnya pernah dikecewain sama orang yang aku ajak curhat dia tidak bisa memegang rahasia, sehingga pada akhirnya, saya pikir dengan curhat kepada orang lain hanya buang-buang waktu dan masalah pun tidak lekas menjadi hilang. Maka kuputuskan hanya curhat padaMu.
Tentang pemuda, seperempat abad usiaku telah kujalani. Al-Imam Ibnu Jauzi menyebutkan tentang pengertian pemuda; bahwa umur manusia dibagi menjadi 5 fase;
1.       Sejak hari kelahiran sampai usia baligh, berlangsung selama 15 tahun.
2.       Sejak usia baligh sampai akhir masa muda 35tahun. Fase yang disebut masa muda (as syabab)
3.       Dari akhir fase masa muda sampai 50 tahun dinamakan fase al kuhulah.
4.       Dari masa kuhulah sampai 70 tahun disebut as syaikukhan.
5.       Dari usia 70 tahun sampai tutup usia disebut fase alharim.
Pemuda masa nya berkarya, masanya menghadapi hawa nafsu dan syahwat terbesar. Menghiasi masa muda dengan tholabul ‘ilmi harus sudah menjadi kebutuhan. Jangan sampai menyesal! Sekarang, coba tanyakan kepada orang tua betapa pahit dan berat melalui masa-masa tua tanpa ilmu agama. Al-Amasy berkata; “jika engkau melihat orang tua tidak bisa membaca ALQur’an dan tidak dapat menulis hadits. Maka tamparlah dia! Sebab orang itu termasuk syuyukhul Qamara” . [1]Apa syuyukhul Qamara itu? Abu Ja’far Rohimahullah menjelaskan; “Mereka adalah orang2 tua yang menghabiskan waktunya dengan kumpul-kumpul dibawah sinar bulan ngobrol tentang hari-hari manusia tidak ada satu pun dari mereka ada yang wudu dengan baik untuk solat”. Dahulu Imam Syafi’I jika melihat orang tua bisa menjawab hadits dan fiqih. Beliau hanya diam saja. Jika ada orang tua yang ketika ditanya soal hadis dan fiqih tidak bisa menjawab. Beliau berkata; “Semoga Allah tidak memberikan balasan kebaikan kepada dirimu! Dari dirimu dan Islam. Sungguh engkau telah mensia-siakan dirimu dan Islam”   
#TetapSemangatMenuntutIlmu #BerkaryaLebihBaik
Write: Sya’ban 1437H


[1] Abu Nasim Muchtar, Pemuda di warna-warni Tholabul Ilmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar